Isnin, 16 Januari 2017

JABATAN AGAMA ISLAM SELANGOR DARUL EHSAN

HUKUM PEMINDAHAN MAKAM KUBURAN DALAM ISLAM

Written By Ahmad Multazam on Monday, January 21, 2013 | 3:12 PM

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم


I.         Pendahuluan
Manusia hidup terakhir pasti membutuhkan kuburan, entah kuburan di bumi, laut, atau di hutan. Kuburan merupakan tempat peristirahatan terakhir orang yang telah meninggal dunia menjelang ia dibangkitkan kembali untuk menghadapi peradilan Allah SWT. Dalam islam ada beberapa ketentuan yang harus diikuti jika mayat telah dikuburkan, baik itu menyangkut tata cara, bentuk, sikap, maupun tingkah laku muslim terhadap kuburan. Namun,  dewasa ini banyak terjadi fenomena pembongkaran kuburan dan memindahkan mayatnya untuk kepentingan individu atau kelompok. Misalnya untuk pembangunan mal, hotel, sekolah, dll. Sebenarnya bagaimanakah Islam memandang fenomena yang banyak terjadi seperti ini?
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara singkat berkaitan hukum pemindahan makam kuburan, apa saja landasan hukum yang dipakai, bagaimana pendapat para Ulama tentang pemindahan makam kuburan, dan bagaimana menganalisa tentang hukum tersebut.
II.       Landasan Hukum
A.       Al Qur’an

...dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman: 34).[1]
  
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al Israa’:70)[2]
B.       Hadis
عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ كَسْرُ عَظْمِ اْلمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا (رواه ابن ماجه)
Dari Amrah dari 'Aisyah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Memecahkan (merusak) tulang seorang yang telah meninggal sama seperti memecahkannya (merusak) ketika masih hidup. (HR. Ibn Majah)
عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ دُفِنَ مَعَ أَبِي رَجُلٌ فَلَمْ تَطِبْ نَفْسِي حَتَّى أَخْرَجْتُهُ فَجَعَلْتُهُ فِي قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ (رواه البخاري)
Dari Abu Nadhrah, dari Jabir ia berkata, seorang laki-laki dikuburkan bersama dengan bapakku, namun  perasaanku tidak enak, hingga akhirnya aku keluarkan beliau dari kuburan dan aku kuburkan beliau dalam satu liang kubur sendiri. (HR. al-Bukhori)
C.     Pandangan Ulama
وَحَرَمُ نَبْشُهُ قَبْلَ اْلبَلَى عِنْدَ اَهْلِ اْلخِبْرَةِ بِتِلْكَ اْلارْضِ بَعْدَ دَفْنِهِ لِنَقْلٍ وَغَيْرِهِ كَتَكْفِيْنٍ وَصَلاَةٍ عَلَيْهِ لِأَنَّ فِيْهِ هَتْكاً لِحُرْمَتِهِ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ كَدَفْنِ بِلاَ طُهْرٍ مِنْ غُسْلٍ اَوْ تَيَمُّمٍ وَهُوَ مِمَّنْ يَجِبُ طَهْرُهُ (الجمل على المنهاج ٢/٢١٨)
Haram membongkar kembali mayat setelah dikuburkan sebelum mayat tersebut diyakini sudah hancur sesuai dengan pendapat para pakar tentang tanahnya, untuk dipindahkan ataupun yang lainnya, seperti mengkafani dan mensholati, karena dapat merusak kehormatan mayat kecuali darurat, seperti dikuburkan tanpa disucikan, baik dimandikan ataupun tayamum, sedangkan mayat tersebut merupakan orang yang harus disucikan. (al-Jamal ‘alal Minhaj 2/218)[3]
الْمَا لِكِيِّةُ قَالُوْا: يَجُوْزُ نَقْلُ الْمَيِّتِ قَبْلَ الدَّفْنِ وَبَعْدَهُ مِنْ مَكَانٍ إِلَى أَخَرَ بِشَرُوْطٍ ثَلَاثَةٍ: أَوَّلُهَا اَنْ لَا يَنْفَجِرَ حَالَ نَقْلِهِ. ثَانِيْهَا اَنْ لَا تُهْتَكَ حُرْمَتُهُ بِأَنْ يُنْقَلَ عَلَى وَجْهٍ يَكُوْنُ فِيْهِ تَحْقِيْرٌ لَهُ. ثَالِثُهَا اَنْ يَكُوْنَ نَقْلُهُ بِمَصْلَحَةٍ … ِإلَى أَنْ قَالَ … فَإِنْ فَقِدَ شَرْطٌ مِنْ هَذِهِ الشُّرُوْطِ الثَّلاَثِ حَرُمَ نَقْلُهُ (الفقه على المذاهب الاربعة ١/٥٣٧)[4]
 Ulama Maliki berpendapat boleh memindahkan mayat sebelum dan sesudah dikubur dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan tiga syarat:
1.    Mayat tidak pecah (rusak) ketika dipindah
2.    Tidak sampai menodai kehormatannya, misalnya memindahkan dengan cara yang dapat menghinakannya
3.    Kepindahan itu karena ada sesuatu kepentingan
Jika satu syarat dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka haram memindahkannya. (al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah 1/537)
III.    Analisis
Memindahkan kuburan atau makam dalam bahasa arab sering di sebutkan dalam istilah “نَقْلُ اْلمَقَابِرْ”, yaitu suatu upaya memindahkan perkuburan dari suatu lokasi kepada lokasi yang lain karena perkuburan yang lama tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana biasanya, atau ada pertimbangan-pertimbangan lain yang mendesaknya.[5]
Para Ulama telah sepakat bahwa asalnya membongkar kuburan untuk  dipindahkan atau tujuan lainnya yang tidak ada kepentingan darinya adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap manusia, karena manusia terhormat ketika hidup dan ketika dia telah mati.[6]
Jika sekiranya memang ada pertimbangan lain yang mendorong untuk memindahkan jenazah yang telah di makamkan, maka perlu di ketahui sebagian besar para Ulama menetapkan bahwa hal tersebut di bolehkan, karena dalam keadaan dharurat dan ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat.[7]
Yang dimaksud dalam keadaan dharurat yang membolehkan dilakukannya pembongkaran kuburan dan memindahankan jenazahnya yaitu karena tujuan untuk kemaslahatan jenazah, misalkan kalau tanah pekuburan tersebut dikhawatirkan akan dilanda bencana banjir atau ada sesuatu yang mengancam keselamatan jenazah yang ada di dalam kuburan. Maka pada waktu itu boleh membongkar kuburan dan memindahkannya ke tempat lain yang lebih layak.[8]
Sebab selanjutnya di bolehkannya memindah jenazah yang telah dikuburkan adalah tanah yang digunakan untuk mengubur bukan hak dari jenazah tersebut. Menurut para ahli fiqih, bahwa di bolehkan memindahkan jenazah dari tanah yang tidak jelas statusnya kepada kuburan yang memang ditentukan. Dan di utamakan menguburkan seorang Muslim pada daerah kuburan yang lebih banyak orang shalehnya.[9]
Kemaslahatan masyarakat umum menjadi sebab selanjutnya di bolehkannya memindahkan jenazah yang telah dikuburkan, seperti akan di bangun masjid, sekolah, rumah sakit, dll di atas tanah kuburan tersebut. Hal ini termasuk pokok syariat yang menyebutkan bahwa menghilangkan mudharat dan menolaknya sedapat mungkin, menanggung mudharat yang lebih kecil dari menolak mudharat yang lebih besar, dan menghilangkan kemaslahatan yang lebih kecil untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar.[10]


[1]Dewan Penterjemah, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, 1971), hlm. 658
[2]Dewan Penterjemah, Al Qur’an dan..., hlm. 435
[3]Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum islam (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004), hlm. 501
[4]Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba ’ah, Juz I, (Beirut: Dar al­Kuitub al-Alawiyah, t.th), hlm. 537
[5]Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus yang Dihadapi Islam Masa Kini jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 147
[6]Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 917
[7]Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 305
[8]Said Abdullah Al Hamdani, Risalah Djanaiz, (Bandung: PT. Al Ma’arif, t.th), hlm. 123
[9]Husein Bahreisj, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al Ikhlas, 1987), hlm. 478
[10]Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa..., hlm. 919 – 920 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan